BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Persalinan seringkali mengakibatkan perlukaan jalan
lahir, perlukaan biasanya ringan, tetapi ada juga yang luas dan berbahaya,
sehingga setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan
perinium. Robekan perinium terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikut. (Winkjosastro, 2005 : 664). Adapun
keluhan yang biasa dirasakan oleh ibu post partum dengan luka perinum adalah
gangguan rasa nyaman : nyeri, mobilisasi, takut BAB dan untuk perawatan luka
biasanya menggunakan anti septik . Periode awal penyembuahn luka perinium
dibutuhkan waktu 7-10 hari. Fenomena yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa
masyarakat sudah mengetahui bahwa penyembuhan luka perinium dibutuhkan makanan
yang banyak mengandung protein yaitu salah satu sumber makanan yang kaya akan
protein adalah ikan gabus. Ikan gabus mengandung protein yang lebih tinggi
dibanding dengan jenis ikan lain. Protein diperlukan untuk tubuh, dan berfungsi
untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka pasca operasi
dan sehabis melahirkan dan membantu proses metabolisme tubuh, sehingga
dianjurkan untuk dikonsumsi. Namun hasil wawancara dari 20 pasien post partum hanya 4 (20%) orang yang sudah mengkonsumsi
ikan gabus dan ada sebagian ibu post
partum yang belum mengetahui fungsi dan kegunaan ikan gabus, masih belum
dijelaskan pengaruh konsumsi ikan gabus terhadap percepatan penyembuhan luka
perinium.
Berbagai studi menunjukkan bahwa robekan kecil pada perinium
jarang memerlukan penjahitan. Trauma yang dialami ibu bersalin akibat
penjahitan dapat lebih berbahaya dibanding robekan kecil itu. Bila robekan
tidak mengakibatkan perdarahan hebat atau hanya ditemukan robekan kecil,
biarkan robekan tersebut tanpa jahitan, luka akan segera sembuh tanpa efek yang
merugikan terhadap pemulihan perinium (Depkes RI, 2001: 32). Nyeri yang
dirasakan ibu post partum berasal
dari luka yang terdapat dari robekan perinium (Kasdu, 2003). Nyeri adalah
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial. Tingkat dan keparahan nyeri pasca
persalinan tergantung pada fisiologis
dan psikologis individu dan toleransi yang ditimbulkan nyeri (Brunner dan
Suddart, 2002). Berdasarkan data yang diperoleh penulis pada saat studi
pendahuluan didapatkan pada September tahun 2010 dari 25 persalinan di BPS
(Bidan Praktek Swasta) Ninik Artiningsih Dusun Tergilis Kecamatan Prajulit
Kulon Mojokerto terdapat 20 orang (80%) yang mengalami jahitan luka perinium.
Dari jumlah tersebut 6 orang (30%) luka jahitannya sembuh pada hari ke 4, dan
14 orang (70%) luka jahitan sembuh pada hari ke 12. Untuk penyembuhan luka
perinium di BPS Ninik Artiningsih masih
menggunakan jenis terapi farmakologi yaitu penggunaan seperti analgesik dan antibiotik.
Terapi non farmakologi di dapat dari makanan seperti konsumsi ikan gabus, ayam,
telur dan daging. Dari hasil wawancara sebanyak 14 ibu post partum yang belum mengetahui
manfaat konsumsi ikan gabus untuk percepatan penyembuhan luka perinium.
Terjadinnya luka perinium dapat disebabkan oleh 2 faktor
yaitu faktor indikasi ibu dan indikasi janin seperti bayi prematur, bayi besar,
posisi abnormal, gawat janin (Willian R. Forte : 442). Banyak faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka perineum di antaranya faktor gizi terutama
protein akan sangat mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada perinium
karena pergantian jaringan sangat membutuhkan protein. Selain itu juga
dipengaruhi oleh lingkungan, tradisi, pengatahuan, sosial ekonomi, penanganan
petugas, kondisi ibu mobilisasi dini, vulva hygiene, luas luka, umur, vaskularisasi,
stressor dan juga nutrisi. Jika luka perineum tidak segera sembuh bisa
menyebabkan terjadinya infeksi. Penelitian yang sudah dilakukan Eddy
Suprayitno, selama ini untuk mengobati luka bakar dan pasca operasi digunakan
serum human albumin yang diproduksi dari darah manusia. Untuk mengobati luka
pasca operasi dibutuhkan 3 ampul serum albumin, Rp. 1,3 juta per ampulnya. Dengan
meminum ekstrak ikan gabus, pasien hanya membutuhkan 24 kilogram ikan gabus
untuk menyembuhkan luka operasi atau luka bakar. Malah menurut Eddy, luka dapat
sembuh 3 hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin
Ikan gabus merupakan salah satu jenis ikan yang banyak
digunakan oleh masyarakat untuk proses penyembuhan luka terutama luka pasca
operasi, luka bakar dan setelah persalianan, karena kandungan utama dalam ikan
gabus adalah protein atau albuminnya yang cukup tinggi dan juga albumin
merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma protein
dengan nilai normal 3,3 – 5,5 g/dl albumin juga didapatkan pada ruang ekstrasel
40% terdapat pada plasma dan 60% ekstrasel (Nurpudji). Sedangkan salah satu
faktor proses percepatan penyembuhan luka jahitan perinium yaitu membutuhkan
protein tinggi yang terdapat pada ikan gabus. Referensi pendukung
memperlihatkan kukusan ikan gabus dapat juga menyembuhkan penderita hipoalbumin
(rendah albumin) yang diikuti komplikasi penyakit seperti hepatitis, TBC,
diabetes. Setelah diberikan konsumsi ikan gabus diharapkan dapat mempercepat
penyembuhan luka perinium sebelum hari ke 10 dan tidak melebihi hari ke 10 agar
tidak terjadi infeksi, sehingga penggunaan ikan gabus dapat diterapkan oleh
seluh masyarakat khususnya ibu post partum di BPS Ninik Artiningsih Dusun
Tergilis Kecamatan Prajurit Kulon Mojokerto.
1.2.
Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh konsumsi ikan gabus terhadap
percepatan penyembuhan luka jahitan perinium di BPS Ny. Ninik Artiningsih Dusun
Tergilis Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan
umum
Menjelaskan pengaruh konsumsi ikan gabus terhadap
percepatan kesembuhan luka perinium di BPS Ny. Ninik Artiningsih Dusun Tergilis
Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
1.3.2.
Tujuan
khusus
1. Mengidentifikasi percepatan penyembuhan luka perinium
yang tidak diberi konsumsi ikan gabus (kelompok kontrol) di BPS Ny. Ninik Artiningsih
Dusun Tergilis Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
2. Mengidentifikasi percepatan penyembuhan luka perinium
yang diberi konsumsi ikan gabus (kelompok perlakuan) di BPS Ny. Ninik
Artiningsih Dusun Tergilis Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
3. Menganalisis percepatan penyembuhan luka perinium yang
tidak diberi dan diberi mengkonsumsi ikan gabus di BPS Ny. Ninik Artiningsih
Dusun Tergilis Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Teoritis
Hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi khususnya dibidang ilmu keperawatan maternitas tentang
fungsi, kegunaan dan manfaat ikan gabus sehingga dapat mencegah terjadinya
infeksi perinium dan membantu proses penyembuhan luka perinium.
1.4.2.
Praktis
Peneliti ini dapat lebih memahami masalah yang dikaji, memberikan masukan
bagi ibu nifas tentang perawatan luka perinium dan konsumsi ikan gabus sebagai
terapi untuk mempercepat penyembuhan luka perinium sehingga peneliti dapat memberikan pengetahuan
ini kepada khalayak umum, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dapat
menambah kepustakaan bagi yang membutuhkan referensi dalam bidang pengaruh
konsumsi ikan gabus terhadap percepatan penyembuhan luka perineum serta dapat
sebagai data dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep
Ikan Gabus
Gambar 2.1 Ikan Gabus (Cybernet ed cbn.net.id)
Sejak dahulu ikan gabus dipercaya dapat mempercepat penyembuhan
luka sehingga dianjurkan untuk dikonsumsi pasien pasca operasi dan ibu-ibu
sehabis melahirkan, hal ini dikarenakan ikan gabus mengandung protein yang
tinggi (albumin), sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Hampir
semua pasien berkadar albumin rendah yang diberi sari ikan gabus ini, naik
lebih cepat daripada pemberian albumin lewat infus. Bahkan pasien berkadar
albumin rendah yang diikuti komplikasi penyakit seperti hepatitis, TBC/infeksi
paru, neprotic syndrome, tonsillitis,
typus, diabetes, patah tulang, gastritis, gizi buruk, sepsis, stroke, ITP
(Idiopatik Trombosit Tupenia Purpura), HIV/AIDS.
Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Prof. DR. Dr. Nurpudji A. Taslim dari Universitas Hasanuddin,
Makasar, menunjukkan kadar albumin pasien di RS Wahidin Sudiro Husodo Makasar,
Sul-Sel, meningkat tajam setelah beberapa kali mengkonsumsi ikan gabus. Hal
tersebut mempercepat kesehatan pasien.
Penelitian serupa juga
pernah dilakukan pada bagian bedah RS Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Hasil uji
coba tersebut menunjukkan albumin dari kadar yang rendah (1,8 g/dl) menjadi
normal. Penelitian yang dilakukan di Universitas Hasanudin juga menunjukkan
pemberian ekstrak ikan gabus selama
10-14 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah 0,6-0,8 g/dl. Pada ODHA
(orang dengan HIV/AIDS) yang diberi ekstrak ikan gabus secara teratur dapat meningkatkan kadar
albumin di dalam darah, sehingga berat badannya akan naik secara perlahan.
Sebuah penelitian yang
dilakukan Ida Samidah, dr Balitbangda Sulawesi Selatan menunjukkan, balita yang
mengkonsumsi ikan gabus secara
teratur memiliki kadar albumin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan balita
yang tidak mengkonsumsinya. Selain itu, balita yang mengkonsumsi ikan gabus secara teratur juga mengalami peningkatan
berat badan dan kadar hemoglobin darah secara nyata.
Pada anak yang
kekurangan albumin, seperti penderita tuberkolosis (TBC atau TB), daya kerja
obat yang diminum menjadi kurang maksimal, sementara pada anak yang sedang
berada di fase periode emas pertumbuhan (golden
age), yaitu usia 1-5 tahun, kekurangan albumin akan sangat mengganggu
pertumbuhan otaknya. Semakin sedikit
albumin, pertumbuhan sel dari otak akan semakin lambat. Sel otak yang sedikit
menyebabkan anak menjadi kurang cerdas. Kadar albumin normal di dalam tubuh
antara 3,5-4,5 g/dl. Kadar albumin yang kurang dari 2,2 g/dl
menunjukkan masalah pada tubuh. Umumnya masalah gizi yang diderita anak-anak
bukan hanya disebabkan oleh asupan yang kurang, tetapi juga karena zat gizi
yang berhasil dibawa oleh darah sangat sedikit, sehingga tidak bisa memberi
gizi pada sel. Kasus seperti ini sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai
kebiasaan makan banyak dan cukup bergizi, tetapi pertumbuhannya sangat lambat,
itulah sebabnya bila anak kita sulit sekali tumbuh, sebaiknya bukan hanya
diberi obat anti cacing. Yang paling penting, perhatikan asupan makanannya,
apakah cukup bergizi atau tidak. Usahakan untuk selalu menyajikan makanan yang
kaya protein albumin, seperti ikan gabus (Kordi).
Ikan gabus dapat diolah dengan berbagai cara. Masyarakat Sulawesi
Selatan dan Papua biasa mengolah ikan gabus menjadi sup asam pedas, sedangkan
masyarakat Jawa dan Sunda mengolahnya dengan cara digoreng. Masyarakat
Banjarmasin bisaa menggunakan ikan gabus untuk membuat krupuk. Variasi lain dapat dilakukan
adalah dalam bentuk abon atau disantan seperti ikan kakap. Untuk bayi, ikan gabus dapat
dipipil atau disajikan seperti nasi tim. Ikan gabus
sebaiknya disajikan dengan cara direbus, dikukus, ataupun dibuat sup. Ikan gabus
goreng atau bakar memang lebih nikmat, tetapi nilai gizinya turun. Selain itu,
menggoreng biasanya dilakukan dengan minyak berlebih, sehingga dapat
meningkatkan kadar lemak pada ikan. Padahal,
ikan gabus termasuk bahan makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi karena
kadar lemak dan kolesterolnya masih di bawah rata-rata. Bahaya lain yang
mengintai dari ikan bakar dan goreng adalah racun karsiogenik yang dapat
mengganggu kesehatan tubuh.
Seperti ikan air tawar lainnya, salah satu kelemahan ikan
gabus adalah
memiliki bau lumpur. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk tidak
mengkonsumsinya, mengingat manfaatnya sangat luar biasa. Untuk menyiasatinya,
ikan gabus dapat
dicuci dengan air kapur. Bisa juga direbus lebih dulu dengan berbagai rempah,
seperti kunyit ataupun jeruk nipis, baru kemudian diolah sesuai selera.
2.1.1. Kandungan ikan gabus
Ikan gabus adalah
sejenis ikan buas yang hidup di air tawar dan rawa. Sering dijuluki “ikan buruk
rupa” karena kepalanya menyerupai kepala ular. Di Indonesia, ikan ini dikenal
dengan berbagai nama, yaitu kutuk (Jawa), haruan atau bogo (Sunda) dan kocolan
(Betawi). Ikan gabus ini
jenisnya juga beragam diantaranya gabus biasa (haruan), kehung, kerandang,
toman dan gabus unggui.
Dilihat dari kandungan gizinya, ikan gabus tidak
kalah dari ikan air tawar lain yang cukup popular. Seperti ikan mas dan ikan
bandeng. Kandungan gizi berbagai ikan air tawar dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Komposisi gizi per 100
gram beberapa ikan tawar dan payau
Jenis
ikan
|
Protein
(g)
|
Lemak
(g)
|
Karbohidrat
(g)
|
Mineral
(g)
|
Air (g)
|
Mas
Bandeng
Tawes
Gabus
Betok
Lele
|
16
20
9,7
20
17,5
17,7
|
2,0
1,3
5,1
1,5
5,0
4,8
|
1,0
1,5
1,7
0,2
0,5
0,3
|
1,0
1,2
1,5
1,3
2,0
1,2
|
80
76
82
77
75
76
|
Sumber :
Astawa 2007
Selain ikan lain, keunggulan ikan gabus adalah kandungan
proteinnya yang cukup tinggi, kadar protein per 100 gram ikan gabus setara ikan
bandeng, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele maupun ikan mas
yang sering kita konsumsi. Albumin merupakan protein yang paling banyak
terkandung dalam plasma, sekitar 60 % dari total plasma, atau 3,5 sampai 5,5
g/dl. Protein, yang banyak dijumpai pada telur, darah, dan susu ini memiliki
fungsi biologis pengangkut asam lemak dalam darah. Albumin juga berperan
mengikat obat-obatan yang tidak mudah larut, seperti aspirin, antikoagulan
koumarin, dan obat tidur. Albumin bisa digunakan untuk menghindari timbulnya
sembap paru-paru dan ginjal, serta carrier
factor pembekuan darah.
Kandungan protein ikan gabus juga lebih tinggi daripada
bahan pangan yang selama ini dikenal sebagai sumber protein seperti telur,
daging ayam, maupun daging sapi. Kadar protein per 100 gram telur 12, 8 gram,
daging ayam 18,2 gram dan daging sapi 18, 8 gram. Nilai cerna protein ikan juga
sangat baik, yaitu mencapai lebih dari 90 persen. Selain itu, protein kolagen
ikan gabus juga lebih rendah dibandingkan dengan daging ternak, yaitu berkisar
3-5 % dari total protein. Hal tersebut yang menyebabkan tekstur daging ikan
gabus lebih empuk daripada daging ayam ataupun daging sapi. Rendahnya kolagen
menyebabkan daging ikan gabus menjadi lebih mudah dicerna bayi, kelompok
lansia, dan juga orang yang baru sembuh dari sakit. Bayi memerlukan asupan
protein tinggi, tetapi belum memiliki saluran pencernaan yang sempurna. Karena
kandungan inilah, ikan gabus memiliki manfaat atau kegunaan yang sangat tinggi
sebagai pertumbuhan otak balita dan anak, khususnya sebagai penyembuhan luka
jahitan perinium
Sejak dahulu ikan gabus dipercaya
dapat mempercepat penyembuhan luka sehingga dianjurkan untuk dikonsumsi pasca
operasi maupun bagi ibu-ibu sehabis melahirkan dan terjadi robekan perineum,
hal ini dikarenakan ikan gabus mengandung protein yang tinggi (Albumin),
sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka (Ir. Sumarno).
2.1.2. Manfaat atau kegunaan
Ikan gabus ini bisa
digunakan untuk beberapa penyakit, yaitu:
1. Kekurangan albumin dalam tubuh.
Dapat menambah albumin dalam tubuh, tanpa perlu khawatir
kelebihan albumin, karena terbuat dari bahan alami, sehingga apabila kelebihan
akan dibuang dengan sendirinya oleh tubuh melalui saluran pembuangan tanpa efek
samping pada tubuh, serta aman untuk penderita kolesterol karena mengandung
asam lemak tak jenuh, dan aman untuk penderita ginjal.
2. Jantung.
Mengandung allisin untuk menurunkan kadar lemak dalam
darah dan trigliserida, sehingga mengurangi resiko terhadap stroke, serangan
jantung, penyempitan pembuluh darah serta untuk menurunkan kadar homosistesin
dalam darah yang menjadi penyebab penyakit jantung mengandung praline yang
bertujuan untuk menguatkan otot-otot jantung.
3. Kanker.
Mengandung zat aktif allyl
sulfide yang dapat menghambat pertumbuhan hormon pemicu tumbuhnya sel
kanker pada tubuh kita.
4. Liver.
Dapat memperbaiki jaringan organ hati. Mengandung asam
amino dan vitamin untuk organ hati dan mengontrol pengumpulan lemak di hati dan
regenerasi sel hati dan kandung empedu.
5. Asma.
Memperbaiki sel-sel saluran pernafasan (bronchus).
6. Lupus.
Memperbaiki otot, otak, dan system syaraf pusat serta
system kekebalan tubuh pada tubuh kita.
7. Luka bakar.
Mengandung cystine
yang didukung oleh asam amino lainnya sangat baik untuk pemulihan luka bakar,
gangguan kulit, pasca operasi/pembedahan dan anti penuaan.
8. Otak.
Untuk membantu mengatur perbaikan jaringan organ otak
yang rusak/ cidera otak/pasca stroke/Parkinson.
9. Diabetes mellitus.
Memperbaiki jaringan sel pankreas yang mulai rusak, sehingga
organ pankreas dapat tetap menghasilkan hormon insulin kembali normal, dan
membantu menstabilkan kadar gula dalam darah bagi penderita hipoglikemi.
10. Luka.
Membantu pemulihan luka dalam maupun luar, karena
sifatnya memperbaiki jaringan organ tubuh yang melepas radikal bebas.
11. Pada saat masa kemoterapi dan radioterapik.
Mengurangi dan mencegah efek-efek yang kurang baik dari
kerja kemoterapi dan radioterapi, seperti badan terasa lemas, lemah. Kerusakan
bagian tubuh bagian tubuh dan mual. Yang mengurangi fungsi kerja kemoterapi dan
radioterapi itu sendiri.
12. Stroke.
Setelah mengalami serangan stroke, beberapa bagian tubuh
akan mengalami kelemahan fungsi, bahkan bisa berakibat tidak berfungsinya
beberapa bagian tubuh, alkuten membantu membuka pembuluh darah yang tersumbat
dan memperbaiki jaringan organ tubuh yang penting untuk otot, otak dan sistem
syaraf sehingga menguatkan sistem kekebalan tubuh serta menjadi anti radikal
bebas.
13. Persendian/tulang.
Mengandung proline yang sangat baik untuk memicu
berfungsinya sendi-sendi, dan juga mengandung lysine yang berfungsi memastikan
penyerapan kalsium yang memadai dan mempermudah pembentukan kolagen yang bisa
membungkus tulang rawan dan jaringan penyambung juga mendorong percepatan
penyembuhan tulang.
14. Pencernaan.
Membantu fungsi saluran pencernaan dan unsur agar dapat
bekerja baik.
15. Depresi.
Asam amino threonine dan asam amino tyrosine yang
digunakan oleh kelenjar tyroid untuk memproduksi salah satu hormon utama untuk
metabolisme kesehatan kulit dan mental, untuk mengatasi depresi.
16. Prostate.
Menjaga sistem saraf pusat, bagi kaum laki-laki, glycine
memainkan pesan penting esensial untuk menjaga fungsi-fungsi prostate agar
tetap sehat
17. Manula.
Alkuten
menyebabkan pencernaan dapat menyerap makanan dengan baik dan akan
meregenerasi/memperbarui semua sel-sel atau jaringan tubuh kita yang mulai
kurang berfungsi dengan baik, sehingga para manula akan menjadi sehat kembali
dan tidak mudah sakit.
2.1.3 Kebutuhan Protein Ibu post partum
Ibu
post partum memerlukan 20 gram protein perhari diatas kebutuhan normal ketika
menyusui. Peningkatan kebutuhan ini ditujukan bukan hanya trasformasi menjadi
protein susu tetapi juga untuk sintesa hormone yang memproduksi (prolaktin)
serta yang mengeluarkan ASI (oksitoksin) (Arisma, 2004 : 39). Sumber protein
hewani adalah telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein
nabati adalah tempe, tahu, serta kacang-kacangan (sunita 2004 : 100).
2.2. Konsep dasar proses penyembuhan luka jahitan
2.2.1. Pengertian
Penyembuhan adalah proses, cara, perbuatan menyembuhkan,
pemulihan. (Depdikbud, 2001).
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana
secara spesifik terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang (Somantri,
2007).
Penyembuhan luka adalah panjang waktu proses pemulihan
pada kulit karena adanya kerusakan atau disintegritas jaringan kulit (Arini).
2.2.2
Mekanisme
terjadinya luka
Luka insisi (incised wounds), terjadinya karena teriris oleh instrument yang
tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptic) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh
darah yang luka diikat (ligasi).
a. Luka
memar (contusion wound), terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristik oleh cedera pada
jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
b. Luka
lecet (abraded wound), terjadi akibat
kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
c. Luka
tusuk (punctures wound), terjadi
akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk ke dalam kulit dengan
diameter yang kecil.
d. Luka
gores (lacerated wound), terjadi
akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
e. Luka
tembus (penetrating wound), yaitu
luka yang menembus organ tubuh bisaanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung bisanya lukanya akan melebar.
f. Luka
bakar (combustion).
2.2.3
Berdasarkan
kedalaman dan luasnya luka
a.
Stadium I
luka superficial (non-blanching
erithema): yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b.
Stadium II
luka “partial thickness”, yaitu hilangnya
lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial dan adanya tanda
klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c.
Stadium
III
luka “full
thickness”, yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati
jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu
lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d.
Stadium IV
luka “full
thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas.
2.2.4
Menurut
waktu penyembuhan luka
a. Luka
akut yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang
telah disepakati.
b. Luka
kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat
karena faktor eksogen dan endogen.
2.2.5
Proses
penyembuhan luka
Tubuh secara normal akan
berespon terhadap cidera dengan jalan “proses peradangan”, yang
dikarakteristikkan dengan 5 tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness),
panas (hot), nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impairee fuction). Proses penyembuhannya
mencakup beberapa fase:
a. Fase
inflamasi.
Fase inflamasi adalah
adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi
pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan
dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk
mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Secara klinis fase inflamasi ini
ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
b. Fase
proliferative.
Peran fibroblast sangat besar pada proses
perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Pada jaringan
lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta
mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin
dan proteoglycans) yang berperan
dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik
adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective
tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrak oleh fibroblast, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru
dan juga fibroblast sebagai kesatuan
unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang
tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lampiran kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factors yang dibentuk oleh
makrofag dan platelet.
c. Fase
maturasi.
Fase ini dimulai pada
minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan
dari fase maturasi adalah: menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi
jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblast
sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, regresi dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal
(Sumantri, 2007: 98).
2.2.6
Faktor
yang mempengaruhi penyembuhan luka
a. Faktor
lokal.
Yaitu suplai pembuluh
darah yang kurang, denervasi, hematoma, infeksi, irradiais, mechanical stress,
dressing material, tehnik bedah, irrigais, elektrokoagulasi, suture materials, antibiotic, tipe jaringan, facilitious
wounds.
b. Faktor
umum.
Yaitu usia, anemia, anti inflammatory drugs, cytotoxic and metabolic drugs, diabetes mellitus, hormon, infeksi
sistemik, jaundice, penyakit menular,
malnutrisi, obesitas, temperature, trauma, hipovolemia dan hipoksia, uremia,
vitamin C dan A, trace metals.
2.2.7
Faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi penyembuhan luka
Menurut Smeltzer (2002:
493), faktor-faktornya yaitu:
a. Lingkungan.
Dukungan dari lingkungan
keluarga, dimana ibu akan selalu merasa mendapatkan perlindungan dan dukungan
serta nasihat-nasihat khususnya orang tua dalam merawat kebersihan pasca
persalinan
b. Tradisi.
Di Indonesia ramuan
peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca operasi masih banyak digunakan,
meskipun oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya untuk penyembuhan luka
jahitan pasca operasi, masyarakat tradisional menggunakan ikan kutuk atau ikan
gabus untuk dikonsumsi sehari-hari agar bisa mempercepat proses penyembuhan
luka jahitan.
c. Pengetahuan.
Pengetahuan ibu tentang
perawatan pasca operasi SC sangat menentukan lama penyembuhan luka jahitan.
Apabila pengetahuan ibu kurang terlebih masalah makan-makanan yang dikonsumsi
maka penyembuhan luka pun akan berlangsung lama.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya
hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan,
khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita
dan Fallah, 2004).
d. Sosial
ekonomi.
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama
penyembuhan luka adalah keadaan fisik dan mental ibu dalam melakukan aktivitas
sehari-hari pasca operasi. Jika ibu memiliki tingkat sosial ekonomi yang
rendah, bisa jadi penyembuhan luka jahitan berlangsung lama karena timbulnya
rasa malas dalam merawat diri.
Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan
jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan yang rendah
sumber energi terutama diperoleh dari padi-padian, umbi-umbian dan
sayur-sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi
makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak, minyak dan makanan kaleng
(Suhardjo, 2008: 47). Penduduk miskin biasanya mengkonsumsi makanan yang lebih
murah dan menu biasanya tidak (kurang) bervariasi. Sebaliknya pada penduduk
yang berpenghasilan tinggi, umumnya mengkonsumsi makanan yang harganya lebih
tinggi, akan tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin tercapainya gizi
yang baik (Suhardjo, 2007: 21).
e. Penanganan
petugas.
Pada saat pasca operasi,
pembersihannya harus dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan,
hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama penyembuhan
luka jahitan.
f. Kondisi
ibu.
Kondisi kesehatan ibu
baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan lama penyembuhan. Jika
kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik.
g. Gizi.
Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan
ibu dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa penyembuhan luka
jahitan. Misalnya dengan banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
albumin seperti ikan gabus dan gabus.
2.2.8
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi penyembuhan luka
Menurut Smeltzer (2002:
495), faktor-faktornya yaitu:
a. Usia.
Penyembuhan luka lebih
cepat terjadi pada usia muda daripada orang tua. Orang yang sudah lansia tidak
dapat mentorerir stres seperti trauma jaringan atau infeksi.
b. Penanganan
jaringan.
Penanganan yang kasar
menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan.
c. Hemorargi.
Akumulasi darah
menciptakan ruang bagi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan. Area menjadi
pertumbuhan untuk infeksi.
d. Hipovolemia.
Volume darah yang tidak
mencukupi mengarah pada vasokonstriksi dan penurunan oksigen dan nutrient yang
tersedia untuk penyembuhan luka.
e. Faktor
lokal odema.
Penurunan suplai oksigen
melalui gerakan meningkatkan tekanan interstisial pada pembuluh.
f. Defisit
nutrisi.
Sekresi insulin dapat
dihambat, sehingga menyebabkan glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan
protein kalori.
g. Defisit
oksigen.
Infusien oksigenasi
jaringan: oksigen yang tidak memadai dapat diakibatkan tidak adekuatnya fungsi
paru dan kardiovaskular juga vasokontriksi setempat. Penumpukan drainase:
sekresi yang menumpuk mengganggu proses penyembuhan.
h. Medikasi.
Steroid dapat
menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respon inflamasi normal. Anti koagulasi dapat
menyebabkan hemorargi. Antibiotik spektrum luas/spesifik atau kontaminasi
bakteri. Jika diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif karena koagulasi
intravaskular.
i.
Overaktivitas.
Menghambat perapatan
tepi luka. Mengganggu penyembuhan yang diinginkan.
Perawatan luka jahitan post sc (luka jahitan) adalah sebagai berikut:
1.
Menjaga
agar luka jahitan selalu bersih dan kering.
2.
Menghindari pemberian obat tradisional.
3.
Menghindari
pemakaian air panas untuk mengkompres.
4.
Kontrol
ulang maksimal seminggu setelah operasi untuk pemeriksaan penyembuhan luka.
2.3 Konsep Perawatan Luka Perinium
2.3.1
Pengertian Perawatan Luka Perinium
Luka perinium adalah perlukaan pada jalan lahir yang
dapat terjadi karena kesalahan pada sewaktu memimpin persalinan, pada waktu
persalinan operatif seperti ekstraksi cuna, ektraksi vakum, embriotomi. Selain
itu perlukaan dapat terjadi karena memang disengaja seperti tindakan episiotomi
(Winkjosastro, 2005 : 170)
Perawatan luka perinium adalah pemenuhan kebutuhan untuk
menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam
masa antara kelahiran plecenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti
pada waktu sebelum hami.
2.3.2
Tujuan perawatan luka perinium
Tujuan perawatan luka perinium adalah mencegah terjadi
infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan (udcreasort@gmail.com).
Tujuan perawatan luka perinium adalah
1.Mendekatkan/merapatkan jaringan
2.Menghentikan perdarahan (hemostatis)
2.3.3
Bentuk luka perinium
1.Ruptur
Ruptur adalah luka pada perinium yang diakibatkan oleh
rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu
pada saat proses persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak teratur sehingga
jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan.
Tingkat robekan perinium adalah :
1.
Tingkat I
Bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau
kulit perinium.
2.
Tingkat II
Adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan
perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital.
3.
Tingkat
III
Perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang
menyebabkan muskulus spingter ani eksternus terputus didepan.
Menurut Saifuddin (2001 : 462) robekan perinium terbagi
menjadi empat yaitu:
1.
Tingkat
satu
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan
atau tanpa mengenai kulit perinium.
2.
Tingkat
dua
Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perineal
trasversalis, tetapi tidak mengenai otot sfingter ani.
3.
Tingkat
tiga
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter
ani.
4.
Tingkat
empat
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani
dan mukosa rektum.
2.Episiotomi
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum
yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput darah,
jaringan pada septum retrovagina , otot-otot dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum (winkjosastro, 2007 : 410).
Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari
pihak ibu maupun pihak janin.
1.
Indikasi
janin
a)
Bayi besar
b)
Posisi
kepala yang abnormal (presentasi muka, occipitoposterior)
c)
Kelainan
bokong
d)
Ekstraksi
vorcep yang sukar
e)
Dystorsia
bahu
f)
Anomali
kongenital, seperti hidrocepalus
2.
Indikasi
ibu
a)
Partus
presipitatus
b)
Pasien
tidak mampu berhenti mengejan
c)
Partus
diselesaikan tergesah-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan
d)
Edema dan
kerapuan pada perineum
e)
Varikositas
vulva yang melemahkan jaringan perineum
f)
Arcus
pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan
kepala bayi ke arah posterior
g)
Peluasan
episiotomi
Berdasarkan tipe insisinya terdapat 2 jenis episiotomi:
1.
Median
Insisi dimulai dari ujung
terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot spingter.
2.
Mediolateral
Insisi dimulai dari ujung
terbawah introitus vagina menuju ke belakang dan samping kiri atau kanan.
Sebelum
melakukan episiotomi ada prosedur yang harus dilakukan:
1.
memberitahukan
pada ibu tentang apa yang akan dilakukan dan bantu agar ibu tetap tenang atau
merasa tenang.
2.
Melakukan
tindakan desinfektan sekitar perineum dan vulva.
3.
Anastesi
lokal caranya:
a)
Bahan
anastesi (lidokain HCL 1 %atau xilokain 10 mg/ml)
b)
Tusukkan
jarum tepat dibawah kulit perineum pada daerah komisura posterior (fourchette)
c)
Arahkan
jarum dengan membuat sudut 45 derajat kesebelah kiri atau kanan garis tengah
perineum dan lakukan aspirasi.
d)
Sambil
menarik mundur jarum suntik, infiltrasikan 5-10 ml lidokain 1%.
e)
Tunggu 1-2
menit agar efek anastesi bekerja maksimal sebelum episiotomi dilakukan.
Cara
melakukan tindakan episiotomi adalah:
1.
Pegang gunting
yang tajam dengan satu tangan
2.
Letakkan
jari telunjuk dan tengah diantara kepala bayi dan perineum, searah dengan
rencana sayatan.
3.
Tunggu
fase puncak his, kemudian selipkan guntung dalam keadaan terbuka diantara jari
telunjuk dan tengah.
4.
Gunting
perineum dimulai dari komisura posterior 45 derajat ke lateral (kiri atau
kanan)
5.
Lanjutkan
pimpinan persalinan
Perbaikan
episiotomi Median:
1.
Catgut
kromik 00 atau 000 sebagai jahitan kontinyu untuk menutup mukosa vagina.
2.
Dapatkan
tepi-tepi potongan cincin hymen, jahitan dikencangkan dan dipotong. Selanjutnya
tiga atau empat jahitan terputus catgut 00 atau 000 ditempatkan pada fasia dan
otot perineum yang di insisi.
3.
Jahitan
kontinyu dibawah untuk menyatukan fasia.
4.
Penyempurnaan
jahitan, dan jahitan kontinyu diarahkan keatas sebagai jahitan subkutikuler.
5.
Alternatif
lain penyempurnaan jahitan, beberapa jahitan catgut kromik 000 terputus
ditempatkan melalui kulit.
Perbaikan
episiotomi mediolateral:
1.
Catgut
kromik 00 atau 000 sebagai jahitan kontinyu untuk menutup mukosa dan submukosa
vagina.
2.
Ketika
mencapai cincin hymen, terus dilanjutkan hingga menyatukan ujung posterior
fourchette dan labia mayora.
3.
Jahitan
dikubur dibawah kulit, dan keduua ujung sfingter vagina yang terpotong (kedua
ujung otot bulbokaveernosus) dipertemukan.
4.
Otot
perineum profunda termasuk levator ani didekatkan dengan jahitan terputus.
5.
Otot-otot
perineum profunda disatukan dengan jahitan inversi terputus dengan memakai
kromik catgut.
6.
Selanjutnya
dibuat suatu lapisan jahitan inversi terputus dengan menggunakan bahan yang
sama untuk menyatukan otot perineum superfisialis.
7.
Kulit
perineum didekatkan dengan jahitan matras terputus menggunakan kromik catgut.
Penjahitan
robekan perineum tingkat III:
1.
Lakukan
inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan.
2.
Jika ada
perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke
dalam vagina.
3.
gunakan
benang jahit (kromik no 2/0)
4.
Tentukan
dengan jelas bekas luka robekan perineum.
5.
Ujung otot
spingter ani yang terpisah oleh karena robekan, di klem dengan menggunakan pean
lurus.
6.
Kenudian
satukan ujung otot spingter ani dengan melakukan 2-3 jahitan angka 8 dengan
catgut kromik 2/0 sehingga bertemu kembali.
7.
Selanjutnya
dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan
perineum tingkat II.
Penjahitan
robekan perineum tingkat IV:
1.
Gunakan
benang jahit (kromik 2/0)
2.
Tentukan
dengan jelas batas luka robekan perineum.
3.
mula-mula
dinding depan rectum yang robek dijahit dengan jahitan jelujur menggunakan
catgut kromik no 2/0.
4.
Jahit
fasia perirektal dengan menggunakan benang yang sama sehingga bertemu kembali.
5.
Jahit
fasia septum rektovaginal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu
kembali.
6.
Ujung otot
spingter ani yang terpisah oleh karena robekan di klem dengan menggunakan pean
lurus.
7.
Kemudian
tentukan ujung otot spingter ani dengan menggunakan 2-3 jahitan 8 dengan catgut
kromik 2/0 sehingga bertemu kembali.
8.
Selanjutnya
dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan
perineum tingkat II.
2.3.4
Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Perinium
1.
Gizi/Nutrisi
Faktor gizi dan nutrisi terutama protein akan sangat
mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada perineum karena pergantian
jaringan sangat membutuhkan protein.
2.
Obat-obatan
a)
Steroid :
Dapat menyamarkan adanya infeksi dengan menganggu respon inflamasi normal.
b)
Antikoagulan
: Dapat menyebabkan hemoragi
c)
Antibiotik
spektrum luas/spesifik : Efektif bila diberikan segera sebelum pembedahan untuk
pathologi spesifik atau kontaminasi bakteri. Jika diberikan setelah luka
ditutup, tidak efektif karena koagulasi intravaskuler.
3.
Keturunan
Sifat genetik seseorang akan mempengaruhi kemampuan
dirinya dalam penyembuhan luka. Salah satu sifat genetik yang mempengaruhi
adalah kemampuan dalam sekresi insulin dapat dihambat, s ehingga menyebabkan glukosa darah meningkat. Dapat terjadi
penipisan protein-kalori.
4.
Sarana
Prasarana
Kemampuan ibu dalam menyediakan sarana dan prasarana
dalam perawatan perineum akan sangat mempengaruhi penyembuhan perineum,
misalnya kemampuan ibu dalam menyediakan antiseptik.
5.
Budaya dan
Keyakinan
Budaya dan keyakinan akan mempengaruhi penyembuhan
perinium, misalnya kebiasaan tarak telur, ikan dan dagingayam, akan
mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat mempengaruhi penyembuhan luka .
2.4 Pengaruh konsumsi ikan gabus
terhadap percepatan penyembuhan luka jahitan perinium
Penggunaan ikan gabus akhir-akhir ini mendapat perhatian
dari masyarakat, khususnya untuk bidang kesehatan. Sebab, ikan gabus merupakan
salah satu bahan pangan alternatif sumber albumin bagi penderita hipoalbumin
(rendah albumin) dan luka. Baik luka pasca operasi maupun luka bakar. Fenomena
ikan gabus tersebut pernah diangkat dalam 1 penelitian khusus oleh Prof. Dr.
Ir. Eddy Suprayitno MS. Guru besar ilmu biokimia ikan Fakultas Perikanan
Unibraw pada 2003. Dalam penelitian berjudul albumin ikan gabus (ophiochepalus striatus) sebagai makanan
fungsional mengatasi permasalahan gizi masa depan, Eddy mengupas habis tentang
potensi ikan gabus: “dilihat dari kandungan asam aminonya, ikan gabus memiliki
struktur yang lebih lengkap dibandingkan jenis ikan lain” (www.sariikankutuk.com/2007).
Khasiat dan kegunaan yang dimiliki oleh ikan gabus, yaitu
a.
Meningkatkan
kadar albumin dan daya tahan tubuh.
b. Mempercepat
proses penyembuhan pasca operasi.
c.
Mempercepat
penyembuhan luka dalam/luka luar.
d.
Membantu
proses penyembuhan pada penyakit:
1.
Hepatitis,
TBC/infeksi paru, nephritic syndrome, tonsilitis.
2.
Typus,
Diabetes, patah tulang, gastritis, ITP, HIV.
3. Sepsis,
stroke, thalasemia minor.
e. Menghilangkan
oedem (pembengkakan).
f. Memperbaiki
gizi buruk pada bayi, anak dan ibu hamil.
g. Membantu
penyembuhan autis.
h. Sebagai
larutan pengganti pada keadaan defisiensi albumin.
BAB
3
KERANGKA
KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 3.1 Pengaruh konsumsi ikan gabus terhadap
percepatan penyembuhan luka perineum di BPS Ninik Artiningsih, SST Desa
Tergilis Kecamatan Prajurut Kulon Kabupaten Mojokerto
Keterangan:
Variabel diukur
Variabel tidak diukur
Ibu post partum
dengan luka perineum akan mengalami perubahan fisiologis dan psikologis, karena
itu ibu post partum memerlukan
percepatan penyembuhan luka perineum. Salah satu proses penyembuhan luka
perineum maka ibu post partum
mengkonsumsi ikan gabus karena mempunyai banyak kandungan di dalamnya yaitu antara
lain protein sebanyak 20 gram, lemak 1,5 gram, karbohidrat 0,2 gram, mineral
1,3 gram, air 77 gram yang dapat mempengaruhi kesembuhan luka perineum (Edyy),
protein dan albumin membantu jaringan sel yang terbelah, pembentukan jarinagn
sel baru, memberikan gizi pada sel serta pertumbuhan dan perbaikan sel-sel
tubuh melalui proses fase penyembuhan luka fase inflamasi, fase proliferasi
terjadi epitelisasi dan granulasi (Nurpudji), meningkatkan percepatan penyembuhan
luka yaitu sembuh jika: luka kering, tidak bernanah, tidak kemerahan, tidak
berdarah, jaringan mulai menyambung. Sedangkan faktor yang akan ditimbulkan
dari konsumsi ikan gabus sendiri terhadap kesembuhan luka jahitan perineum
adalah terjadi percepatan penyembuhan luka perineum (Ir. Sumarno).
3.2 Hipotesa
Hipotesis (HI) yaitu ada pengaruh konsumsi ikan gabus terhadap percepatan
penyembuhan luka jahitan perinium di BPS Ny. Ninik Artiningsih Dusun Tergilis
Kecamatan Prajulit Kulon Mojokerto.
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan/ Desain Penelitian
Merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang
dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana statu penelitian bisa
diterapkan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasy experimental
dengan pendekatan static group comparison
design yaitu penelitian dengan melakukan eksperimen, dimana dalam desain
ini sudah ada kelompok lain sebagai standar eksternal (Arikunto, 2002: 79).
Desain ini disebut juga post test only
control group design yang merupakan rancangan pre eksperimental dengan
menambah kelompok kontrol, dengan cara setelah perlakuan dilakukan pengamatan
pada kelompok perlakuan dan pada kelompok kontrol dilakukan pengamatan saja
(Hidayat, 2008 : 62)
4.2 Populasi
Pada penelitian ini populasinya adalah ibu post partum
yang mau mengkonsumsi ikan gabus di BPS Ny. Ninik Artiningsih Dusun Tergilis
Kecamatan Prajurit Kulon Mojokerto sebanyak 21 orang.
4.3 Sampel
Penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu ibu post partum yang mau mengkonsumsi ikan
gabus di BPS Ny. Ninik Artiningsih
Dusun Tergilis Kecamatan Prajurit Kulon Mojokerto sebanyak 20 orang.
Pada
penelitian ini sampel yang diambil adalah yang memenuhi kriteria inklusi.
Kriteria
inklusi adalah Karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak diteliti.
Adapun
kriteria penelitian meliputi :
1.
Kriteria inklusi dalam penelitian adalah:
1.
Ibu post
partum fisiologis dengan luka perineum derajat I dan II
2.
ibu post
partum hari ke 1 setelah melahirkan
3.
Ibu post
partum yang mau mengkonsumsi ikan gabus
2.
Kriteria eksklusi dalam penelitian adalah:
1. Komplikasi selama persalinan
2. Perdarahan post partum > 500 ml
3. Tidak bersedia menjadi responden
4.4 Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2009 : 93). Dalam penelitian ini cara
pengambilan sampel dengan cara menggunakan teknik purposive sampling yaitu memilih sampel diantara populasi sesuai
yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2009).
4.5 Identifikasi variabel
4.5.1 Variabel bebas (independent
variable)
Variabel bebas (independent variable) adalah variable
yang nilainnya menentukan variabel lain (Nursalam, 2009 : 97). Variable bebas
(indepenbnt variable) dalam penelitian ini adalah konsumsi ikan gabus.
4.5.2 Variabel tergantung (dependent variable)
Variable tergantung (dependent variable) adalah variable
yang nialinya ditentukan variable lain (Nursalam, 2009 : 98). Variable
tergantung (dependent variable) dalam penelitian ini percepatan penyembuhan
luka jahitan perinium.
4.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah menjelaskan semua variabel
dan istilah yang
akan
dipergunakan dalam penelitian secara operasional, sehingga mempermudah
pembaca dan
penguji dalam mengartikan makna penelitian (Hidayat, 2008: 57-59).
Tabel 4.1 Definisi operasional
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Parameter
|
Alat Ukur
|
Skala
|
Skor
|
Independen: konsumsi ikan gabus
|
Memakan Ikan buas yang
hidup di air tawar Sering dijuluki
“ikan buruk rupa” karena kepalanya menyerupai kepala ular Ikan yang
mengandung banyak albumin jenis protein yang digunakan untuk mempercepat
penyembuhan luka perinium
|
Pemberian ikan gabus
selama 10 hari post partum dengan pemberian
@ 100 gram/hari dimasak dengan cara di kukus
|
Timbangan gram
|
||
Dependen: percepatan
penyembuhan luka jahitan perinium
|
Waktu yang diperlukan
untuk menyatukan kembali jaringan tubuh
|
Dikatakan
sembuh, jika:
1.
Luka tidak berwarna merah
2.
tidak terdapat perdarahan
3.
Pembentukan gumpalan beku
darah pada fibrin
4.
luka kering
5.
luka tidak bernanah
|
Observasi
|
Ordinal
|
Fase Inflamasi 1.Kemerahan kulit -
Diameter < 0,5cm.
- Diameter 0,6 -2 cm. -
Diameter > 2 cm.
2.Edema - Edema < 0,5 cm. - Edema 0,6 – 2 cm. -
Edema > 2 cm. 3.Luka kering - Tidak ada cairan. -
Ada cairan.
- Cairan dengan pus.
Fase Proliferasi
1.Granulasi - Seluruh bagian luka
-
Sebagian luka
-
Tidak ada
2.Tepi luka menyatu
-
Menyatu sempurna
-
Terbuka
sebagian.
- Tidak
menyatu.
|